GridPop.ID - Pemilu 2019 sudah memasuki babak akhir.
Hasil suara baru saja diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa (21/5/2019) pukul 01.46 WIB.
Penetapan hasil rekapitulasi perhitungan dan perolehan suara Pilpres 2019 ini meliputi 34 provinsi di Indonesia dan 130 wilayah di luar Indonesia.
Baca Juga: Gugat Hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi, Kubu Prabowo-Sandi Siapkan Jurus Ini
Hasil Pilpres 2019 ini diumumkan melalui Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2019.
Hasil rekapitulasi perolehan suara, KPU menetapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf menang telak dari Prabowo-Sandiaga.
Dari 154.257.601 suara yang terkumpul, Jokowi-Ma'ruf unggul dengan perolehan sebanyak 85.607.362 atau 55,05% suara.
Sedangkan jumlah suara sah yang diperoleh pasangan nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga sebanyak 68.650.239 atau 44,50% suara.
Melansir Kompas.com, selisih suara kedua pasangan ini mencapai 16.957.123 atau 11% suara dari total suara sah.
Namun, terkait putusan yang ditetapkan pihak KPU ini, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menolak hasil pilpres 2019 pada sidang pleno KPU.
Baca Juga: Pertanyaan Besar, Kenapa Pengumuman Pemenang Pilpres Dimajukan KPU Jadi 21 Mei 2019?
Dikutip dari Tribun Jabar, pihak BPN tak menandatangani berita acara hasil rekapitulasi suara Pilpres 2019.
"Kami, saya Azis Subekti dan Pak Didik Haryanto sebagai saksi dari BPN 02 menyatakan menolak hasil Pilpres 2019 yang telah diumumkan," kata saksi BPN, Azis dikutip dari Kompas.com.
Selain perolehan suara ditekuk paslon 01, laporan dugaan kecurangan yang diajukan ke Bawaslu RI pun ditolak.
Alasan Bawaslu menolak karena BPN hanya membawa print out berita online.
Bukti print out berita online itu disebut belum memenuhi syarat dalam ketentuan perundangan-undangan.
Mestinya, bisa didukung juga dengan bukti lain, seperti dokumen, surat, dan video bukti adanya kecurangan.
"Print out berita online tidak bisa berdiri sendiri, melainkan didukung dengan alat bukti berupa dokumen, surat, maupun video yang menunjukkan adanya perbuatan masif yang dilakukan oleh terlapor yang terjadi paling sedikit di 50 persen dari jumlah daerah provinsi di Indonesia," kata Ratna Dewi Pettalolo dalam siaran Kompas TV.
Pihak BPN pun berencana akan mengajukan gugatan sengketa hasil Pemilu Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK)
"Menyikapi hasil dari KPU RI yang sudah mengumumkan hasil rekapitulasi nasional pada dinihari tadi, rapat hari ini memutuskan paslon 02 akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Direktur Advokasi dan Hukum BPN, Sufmi Dasco Ahmad saat ditemui seusai rapat internal, Selasa (21/5/2019).
Terkait pembuktikan dugaan kecurangan Pilpres 2019 dari pihak BPN tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva pun ikut angkat bicara.
Hamdan mengatakan, pembuktian dugaan kecurangan pada Pilpres 2019 sangat sulit dilakukan.
Terlebih, jika selisih perolehan suara di antara dua pasangan calon terpaut cukup jauh.
"Itu sangat sulit sekali, susah, dan tidak gampang," ujar Hamdan dalam wawancara dengan Aiman Witjaksono dalam program Aiman yang ditayangkan Kompas TV , Senin (20/5/2019).
Hamdan menyebutkan, dalam sistem hukum mengenai pembuktian, siapa pun yang mengendalikan ada kecurangan, pihak tersebut harus bisa membuktikan kecurangan di hadapan hakim.
Pada Pilpres 2019, Hamdan memperkirakan selisih suara di antara pasangan calon nomor urut 01 dan 02 terpaut sekitar 10 juta suara.
Jika salah satu paslon menduga ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif, pihak tersebut harus bisa membuktikannya di MK.
Namun, menurut Hamdan, beban pembuktian sangat sulit.
Pihak penggugat harus bisa membuktikan kecurangan 10 juta suara di ribuan tempat pemungutan suara (TPS).
Menurut Hamdan, pada 2014 MK menerima gugatan dari salah satu pihak pasangan calon presiden.
Kala itu Hamdan yang menjabat sebagai hakim MK, megakui, benar telah terjadi kecurangan di beberapa distrik dan kabupaten di Papua.
Namun, menurut Hamdan, bukti kecurangan itu tak sebanding dengan selisih perolehan suara di antara kedua pasangan calon.
Dengan demikian, kecurangan yang terbukti itu tidak signifikan terhadap perubahan perolehan suara.
Baca Juga: Prabowo Disebut Akui Penetapan KPU Bila Tak Ajukan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
"Jadi MK itu berpikir hal-hal yang lebih besar. Kesalahan di satu TPS, misalnya, kalau bedanya 10 juta (selisih suara), ya kan tidak mungkin dibatalkan pemilunya," kata Hamdan.
Selain itu, terang Hamdan, perolehan suara pada Pilpres 2019 hampir merasa di seluruh Indonesia.
Ketimpangan jumlah perolehan suara hanya terjadi sedikit di beberapa tempat.
Baca Juga: Nekat Tentang Prabowo, AHY Disindir Sebagai Bangsawan Politik Usai Lakukan Manuver Tak Terduga
Hal itu dinilai semakin menyulitkan pembuktian dugaan kecurangan.
"Jadi sebenarnya plus minus, dari sisi suara ya sama saja," kata Hamdan.
(*)
Source | : | Kompas.com,Kompas TV,Tribun Jabar |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar