"Dan surat kami sudah kami sampaikan langsung ke Rey dan Pablo," bebernya.
Insank mebeberkan alasannya memilih untuk mundur karena adanya perbedaan strategi dalam menjalani persidangan dengan kedua kliennya tersebut.
"Bahwa dalam menangani perkara tentunya ada metode cara atau strategi-strategi yang lawyer itu secara independen menjalankan sendiri," tuturnya.
"Kemudian dari pihak terdakwa ada beda pendapat dan kami nilai perbedaan ini sangat prinsipal sehingga kami bilang kami yang harus mundur," lanjutnya
Kini Pablo Benua da Rey Utami hanya didampingi oleh Rihat Hutabarat sebagai kuasa hukumnya.
Persidangan kasus Ikan Asin yang menjeray Rey Utami, Pablo Benua dan Galih Ginanjar akan terus dilanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, usai majelis hakim menolak eksepsi terdakwa dalam putusan sela kemarin.
Diberitakan sebelumnya, kabar sedih datang Rey Utami.
Pembuluh darah di mata istri Pablo Benua ini pecah gara-gara menangis di penjara.
Kondisi terkini Rey Utami yang kurang baik ini diungkapkan oleh Pablo Benua saat ditemui di ruang tunggu tahanan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020).
Baca Juga: Geger Mbak You Peringatkan Perangai Artis Seksi Ini hingga Sampaikan Pesan Menohok: Jatuhnya Perih!
Disampaikan Pablo Benua, istrinya Rey Utami terus menangis di penjara karena merindukan buah hatinya.
Apalagi pada pekan lalu, Rey Utami dibesuk oleh anaknya saat menjalani sidang di PN Jakarta Selatan.
"Setelah kemarin ketemu di sini itu Rey nggak abis-abis nangis, sampai pembuluh darah di matanya pecah," ujar Pablo Benua, dilansir dari Warta Kota dalam artikel 'Pembuluh Darah di Mata Rey Utami Pecah, Istri Pablo Benua Kerap Menangis di Penjara Rindu Sang Anak'
"Cukup haru ya dan menitikan air mata. Karena udah lama sekali gak ketemu. Apalagi masih kecil khawatir apa dia sehat," lanjut Pablo benua.
Pablo Benua mengatakan bahwa akibat dari pecahnya pembuluh darah di sekitaran mata, membuat areal kantung matanya lebam.
Source | : | Tribun Surabaya |
Penulis | : | Sintia Nur Hanifah |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar