GridPop.ID - Sampah menjadi salah satu permasalahan yang dirasakan seluruh warga di dunia termasuk di Indonesia.
Nasib malang warga Kampung Bengek tatkala hidup mereka dikelilingi oleh lautan sampah pada air rawa.
Bukan hanya terancam saat musim hujan tiba hingga kurang perhatian dari pemerintah setempat.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Jumat (30/8/2019), di kawasan RW 17 Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, sebuah kampung berdiri di atas rawa-rawa yang penuh dengan tumpukan sampah.
Kampung itu adalah Kampung Bengek (kini dikenal Kampung Baru), kampung yang penghuninya merupakan gabungan dari warga di sekitar RT 3, RT 4, dan RT 11.
Tak banyak orang yang mengenal kampung itu karena lokasinya sangat terpencil, tersembunyi di balik tembok semen pembatas antara rumah-rumah di pemukiman RT 4.
Lubang-lubang kecil di tembok menjadi satu-satunya pintu keluar dan masuk bagi warga Kampung Baru.
Sejak didirikan lima tahun yang lalu, kampung ini telah menjadi tempat bagi warga yang mengungsi dari RT 3, RT4, dan RT 11.
Keputusan untuk pindah ke Kampung Bengek didasari oleh tingginya biaya mengontrak rumah di tempat tinggal mereka sebelumnya.
"Di sana (RT 11) saya ngontrak. Kalau di sini kan rumah punya sendiri," ujar Ati (53), salah satu warga di Kampung Baru.
Rumah-rumah di Kampung Bengek tidak lebih besar dari ukuran 4x5 meter. Semuanya berbentuk rumah panggung dengan tembok yang terbuat dari triplek dan lantai dari kayu gelondongan.
Ketika cuaca sedang tidak bersahabat, tak jarang rumah-rumah tersebut hampir goyah.
"Kalau angin kencang goyang ini," tutur Ati sambil menunjuk tembok rumahnya.
Sama seperti rumah milik warga lainnya, rumah yang ditinggali Ati pun tidak terlalu besar.
Di rumah kecil tersebut, ia berbagi area dengan delapan orang anggota keluarganya.
Rumah yang ditempatinya sekarang dibeli Ati dari orang lain.
Namun, sebagian besar warga justru mendirikan rumah mereka sendiri karena pemukiman di RT 3, RT 4, dan RT 11 tak lagi mampu menampung mereka.
Di bawah rumah-rumah warga, permukaan rawa nyaris tak terlihat karena banyaknya sampah yang menggunung.
Kendati demikian, air rawa masih menjadi sumber air bagi warga untuk mandi dan mencuci pakaian.
Setiap musim hujan datang, warga mengaku harus waspada. Permukaan air rawa akan naik dan sampah-sampah di dalamnya turur mengikuti.
Tak jarang, air dan sampah tersebut masuk ke dalam rumah-rumah warga.
"Masuk semua ke sini. Paling kalau sudah reda, baru kita bersihkan sendiri," kata Ati.
Secara administrasi, Ati dan sejumlah warga di Kampung Baru lainnya terdaftar sebagai warga RT 3, RT 4, dan RT 11.
Namun, meski terdaftar secara hukum, Ati mengaku bahwa ia belum pernah menerima bantuan dari pemerintah.
"Bilangnya ada BLT (Bantuan Langsung Tunai). Mana, saya enggak pernah dapet," ungkapnya.
Terkadang, wilayah RT tempat Ati terdaftar sebagai warga menerima bantuan sembako dari berbagai kalangan.
Akan tetapi, Ati dan warga Kampung Baru lainnya jarang menerima bantuan tersebut.
Hal ini disebabkan oleh lokasi tempat tinggal mereka yang dianggap terpisah dari pemukiman warga lainnya.
Selain itu, jumlah sembako yang dibagikan juga tidak selalu seimbang dengan jumlah warga yang tinggal di lokasi tersebut.
"Dari RT enggak pernah dateng ke sini. Kadang-kadang dapet, kadang-kadang enggak," ungkapnya.
Penghuni Kampung Baru telah beberapa kali mendapat peringatan akan adanya gusuran di tempat tinggal mereka. Peringatan tersebut diberikan oleh Perusahaan Umum (Perum).
Menanggapi hal tersebut, mereka menerima dengan ikhlas dan menuruti perintah untuk menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) sebagai bukti identitas.
Dokumen-dokumen itulah yang nantinya akan dijadikan bukti bahwa mereka berhak menerima biaya ganti rugi atas penggusuran yang dilakukan. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Warga Kampung Bengek yang Terkepung Lautan Sampah di Teluk Jakarta"