Find Us On Social Media :

Jadi Wanita Eropa Pertama yang Jelajahi Kalimantan, Wanita Ini Beri Kesaksian Soal Keberadaan Suku Pemburu Kepala Manusia di Borneo: Salah Satu Kepala itu Bahkan Matanya Membelalak

By None, Jumat, 24 April 2020 | 16:00 WIB

Ilustrasi tengkorak manusia

GridPop.ID  - Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tersebar luas di daerah-daerah besar hingga terpencil.

Salah satunya mengenai suku di pedalaman Kalimantan yang dikenal karena memiliki kebiasaan warganya suku sebagai pemburu kepala manusia.

Di tengah simpang siur keberadaan suku tersebut, seorang wanita asal Eropa berani bersaksi mengenai peristiwa mengerikan tersebut.

Baca Juga: Namanya Tercoreng Karena Dituding Pelakor, Ternyata Mulan Jameela Bukan Jadi Alasan Ahmad Dhani dan Maia Estianty Bercerai, Ternyata Inilah Penyebab yang Sesungguhnya!

Ia mengatakan tentang pemburu kepala manusia di Kalimantan.

Diketahui, sosok wanita asal Eropa yang jadi saksi adanya pemburu kepala manusia di Kalimantan bernama Ida Pfieffer.

“Kami menjumpai laut yang tidak lucu,” ungkap Ida Pfieffer dalam catatan perjalanannya di Borneo pada Januari 1852.

Baca Juga: 4 Bulan Plesiran ke Luar Negri, Artis Sultan Andara Ini Injakkan Kaki di Indonesia, Namun Dirinya Langsung Bergegas Temui Sosok Ini yang Santer Diisukan Pacari Ayu Ting Ting, Kenapa?

“Dia mengirimkan ombak yang menyapu kami, sehingga separuh perahu terisi air.”

Setelah berjuang beberapa jam, akhirnya mereka mendapatkan aliran sungai yang tenang.

Ida, pelancong asal Austria, bersama seorang pemandu Melayu, meninggalkan Kuching menuju kawasan Iban dengan berperahu menyusuri Sungai Batang Lupar, Sarawak.

Tujuan pertama mereka adalah sebuah benteng di Skrang, yang lokasinya sembilan jam dari tempat mereka berada saat itu.

Komandan Alan Lee, menyambut kedatangan mereka.

Baca Juga: Pergoki Pasangannya Selingkuh, Sang Istri Langsung Gebuki hingga Telanjangi Pelakor di Pinggir Jalanan, Sang Suami Malah Lindungi Kekasihnya dari Amukan Massa

Dalam catatannya, Ida berkisah, benteng itu terbuat dari kayu dan berdinding pagar dari tanah.

Ada sekitar 30 orang pribumi yang menjadi serdadu.

“Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Kedatangan Ida menjadi tontonan lantaran bagi warga pedalaman Borneo, tampaknya dia merupakan sosok aneh bagi mereka.

Dialah perempuan kulit putih pertama yang mereka lihat.

Pada kenyataannya memang demikian, Ida Pfeiffer memang perempuan Eropa pertama yang jelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock.

Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee.

Baca Juga: Berat Hati Tinggalkan Apartemen karena Banyak Kenangan, Betrand Peto Sampai Merengek Minta Tinggal Sendirian: Mau Tinggal Aja Sendiri di Sini

“Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter. Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya.

“Saya berminat membelinya apabila ada di antara mereka yang menjualnya.”

Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.

Seorang Dayak pemburu kepala di Borneo sekitar 1900-1912.

Setiap satu atau dua tahun sekali the Dayak Iban menyelenggarakan adat Gawai Autu untuk menghormati arwah leluhur yang dipercaya berada disekeliling kepala yang tergantung di rumah mereka.

Dalam upacara adat itu mereka berharap mendapatkan berkah dan keberuntungan.

Baca Juga: Sempat Dikira Bercanda, Penyanyi Cantik Ini Justru Shock Berat Temukan Sang Suami Terbujur Kaku dengan Mulut Berbusa hingga Alami Trauma Tak Berani Tidur Sendiri di Kamar: Gue Takut

Ida berkisah tentang orang-orang Dayak pada masa itu—yang barangkali tak jauh berbeda dengan budaya mereka kini.

Leher dan dada para lelakinya berhiaskan manik-manik kaca, kerang, dan gigi beruang madu.

Pergelangan lengan dan kaki berhiaskan gelang kuningan. Kuping mereka ditindik, dan kadang berhias selusin lebih gelang.

“Beberapa dari mereka mengenakan gelang yang bertatakan kerang putih yang bernilai lebih,” ungkapnya.

“Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Baca Juga: Konspirasi Tentang Virus Corona Beredar Luas Hingga Dipercaya Masyarakat, Begini Pendapat Paranormal Denny Darko: Kita Harus Tetap Hidup!

Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan.

Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik.

Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam.

“Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”

Pada hari yang sama, dia juga berkunjung ke tetangga desa Dayak tadi. Tidak banyak perbedaan soal tata busana mereka.

“Kecuali, saya punya kesenangan baru di sini,” ujarnya, “melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Kedua kenang-kenangan atas kemenangan perang itu baru diperoleh beberapa hari sebelumnya dan menampakkan pemandangan yang mengerikan.

Kepala itu nantinya diasap hingga dagingnya setengah matang, bibir dan telinga melayu.

“Kepala-kepala itu tetap dengan rambutnya,” demikian kisah Ida, “dan salah satu kepala itu bahkan matanya membelalak.”

Baca Juga: Awalnya Main Film Bareng, Sosok Ini Rela Jadi Istri Kedua Si Raja Dangdut dan Setia Temani Selama 36 Tahun hingga Sempat Dituding Sebagai Duri Dalam Rumah Tangga Rhoma Irama dan Istri Pertama

“Melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Mereka mengeluarkan trofi kepala itu dari keranjang, yang kemudian menggantungnya untuk memamerkan dengan rasa puas dan bangga kepada Ida.

Tradisi mengayau—berburu kepala musuh untuk dijadikan trofi—tampaknya telah menjadi bagian suku-suku pedalaman di Hindia.

Setelah menyaksikan semua adegan liar itu, Ida merenung, apakah berarti orang Eropa seperti dirinya jauh lebih beradab dari mereka?

Bukankah dalam setiap lembaran sejarah Eropa diwarnai dengan perbuatan mengerikan pengkhianatan dan pembunuhan, demikian kecamuk pertanyaan dalam benaknya.

Apa yang akan kita katakan tentang perang religius antara Jerman dan Prancis, penaklukkan Amerika, pertumpahan darah di Timur Tengah, hingga Inkuisisi Spanyol?

Bagi Ida, tampaknya melancong tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga menuntunnya supaya punya pemikiran terbuka tentang ragam peradaban dan kerendahan hati.

“Saya tidak berpikir bahwa kita orang Eropa dapat berkata banyak tentang kebiadaban ini,” paparnya.

Menurutnya, bangsa Eropa juga membunuh musuh dan bahkan menyiksa musuh mereka—dengan berbagai alat dan cara penyiksaan—sementara orang-orang Dayak membunuh musuh tanpa menyiksanya.

Baca Juga: Dulu jadi Idola dengan Lagu Hitsnya di Kalangan Anak-anak, Mantan Artis Cilik Ini Banting Stir jadi Dokter dan Dipinang oleh Perwira TNI, Begini Kabarnya Sekarang!

“Dan apa yang telah mereka lakukan, mungkin kita dapat memaafkan mereka yang tidak mendapat pencerahan agama dan budaya intelektual.”

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1.

Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.

Artikel ini sudah tayang di Serambi Indonesia dengan judul : Ada Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan, Wanita Asal Eropa Ini Jadi Saksinya