GridPop.ID - Nama Herry Wiryawan sedang jadi sorotan publik.
Guru Pesantren di Bandung itu bikin geram masyarakat karena aksi keji yang telah dilakukan yakni mecabuli belasan santriwati nya.
Peristiwa itu ternyata terjadi sejak 2016 dan baru terbongkar di tahun 2021.
Dari belasan santriwati yang menjadi korban, banyak diantaranya yang hamil bahkan sudah ada yang hamil dua kali.
Anak-anak yang menjadi korban pencabulan guru pesantren di sebuah yayasan pendidikan di Cibiru, Bandung, diungkap ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut.
Dilansir dari Kompas.com, ternyata korban mengurus diri secara mandiri bersama-sama di rumah yang disediakan oleh HW, pemilik yayasan yang juga pelaku pencabulan.
“Mereka ngurus diri mereka sendiri di sana, tidak ada pengurus yayasan, hanya dia (pelaku) yang ada, tidak ada orang lain,” jelas Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut Diah Kurniasari Gunawan, kepada wartawan, Jumat (10/12/2021) malam.
Bukan hanya soal memasak, menurut Diah, urusan menjaga anak hingga mengantar kawan mereka yang hendak melahirkan pun, dilakukan bersama-sama.
Jadi, menurut Diah mereka membagi tugas dari mulai memasak, mencuci dan menjaga anak.
“Ada yang mau melahirkan, diantar oleh mereka sendiri, saat ditanya mana suaminya, alasannya suaminya kerja di luar kota, jadi begitu selesai melahirkan, bayar langsung pulang, tidak urus surat-surat anaknya,” katanya.
Menurut Diah, selain tempat mereka belajar di Cibiru yang juga jadi tempat mereka tinggal, pelaku juga menyediakan satu rumah khusus yang biasa disebut basecamp.
Tempat ini jadi tempat bagi anak-anak yang baru melahirkan hingga pulih dan bisa kembali kumpul.
“Jadi di lingkungannya, saat ditanya bayi-bayinya anak siapa, mereka bilang anak yatim piatu yang dititipkan,” katanya.
Menurut Diah, dirinya mendampingi langsung kasus ini dan bicara langsung dengan para korban hingga detail bagaimana kehidupan mereka sehari-hari di tempat tersebut.
Makanya, Diah merasakan betul kegetiran yang dialami anak-anak.
"Merinding saya kalau ingat cerita-cerita mereka selama di sana diperlakukan oleh pelaku,” katanya.
Diah menuturkan, para korban bukan tidak melawan, namun pelaku melakukan upaya doktrinasi dan menebar ancaman kepada anak-anak.
Hal ini terjadi selama bertahun-tahun hingga anak-anak merasa hal tersebut sudah biasa.
“Orangtua tidak diberi kebebasan menengok anak-anak, anak-anak juga tidak bebas pulang, paling kalau mau Lebaran, hanya 3 hari, itu pun diancam dilarang melapor pada orangtuanya,” katanya.
Diah menuturkan, para korban adalah anak-anak yang benar-benar lugu saat masuk ke yayasan tersebut.
Oleh karena itu, pelaku mudah memperdaya mereka dengan berbagai dalih dan alasan untuk membenarkan apa yang dilakukan pelaku pada korban.
Terkait hal ini, ia menuturkan saat pihaknya menerima laporan adanya rudapaksa yang dilakukan oleh guru pesantren di Kota Bandung, pihaknya langsung melakukan komunikasi dengan orangtua korban.
Dilansir dari Tribun Jabar, menurutnya sebagian orangtua korban tidak mengetahui masalah yang menimpa anaknya.
"Semua orangtua syok begitu mengetahui permasalahan yang menimpa anaknya, setelah diberi pemahaman dan pendampingan, akhirnya para orangtua bisa menerima permasalahan tersebut," ungkapnya.
Diah menjelaskan P2TP2A Garut saat ini fokus melakukan pendampingan terhadap para korban.
Semua korban yang berasal dari Garut saat ini sudah berada di rumah orangtuanya di Garut dan sedang menjalani terapi psikologi.
"Upaya-upaya reintegrasi korban untuk kembali ke lingkungannya pun dilakukan dengan pendekatan ke aparat pemerintahan desa dan tokoh masyarakat hingga para korban akhirnya bisa kembali ke rumahnya," ucapnya.
GridPop.ID (*)