GridPop.ID - Sejak DPR RI mengetok palu dan mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020), rakyat Indonesia mati-matian menentangnya.
Hal ini dikarenakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dianggap merugikan para kaum buruh.
Dilansir Kompas.com, Selasa (18/2/2020), konsep omnibus law ini sudah diterapkan di sejumlah negara, salah satunya Amerika Serikat (AS) yang sudah menggunakan omnibus law sejak 1840.
Omnibus law bukanlah hal baru. Di Amerika Serikat, omnibus law sudah kerap dipakai sebagai UU lintas sektor.
Ini membuat pengesahan omnibus law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Omnibus law juga dikenal dengan omnibus bill di luar negeri.
Lalu apakah omnibus law berhasil diterapkan di luar negeri?
Pakar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Jawahir Thontowi menjelaskan omnibus law di luar negeri berjalan efektif.
"Di luar negeri, khususnya negara-negara dengan sistem common law, omnibus law dapat berfungsi efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Adapun yang dimaksud dengan common law, menurut penjelasannya, adalah sistem hukum yang berada di dalam ikatan negara persemakmuran Inggris.
Dia memberi contoh negara-negara yang efektif menjalankan omnibus law, yaitu Kanada dan beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, serta Thailand.
Akan tetapi, kondisi sosial ekonomi negara-negara itu jauh lebih stabil.
Sementara itu kondisi Indonesia berbeda jauh.
"Kondisi di Indonesia berbeda jauh, sebab pembahasan RUU omnibus law dilakukan di masa genting pandemi Covid-19, partisipasi masyarakat tidaklah optimal," katanya.
Menurut Thontowi, pemerintah cenderung lebih memihak investor asing dan kurang peduli pada rakyat.
Dalam kaitannya dengan pemilikan dan penguasaan tanah tidak seketat di Thailand.
"Para investor dapat menguasai izin pemanfaatan 20 sampai 30 tahun. Itulah kesan utama RUU omnibus law, cenderung eksploitatif terhadap sumber daya alam," ungkapnya.
Selain itu, semakin banyak tenaga kerja asing (TKA) masuk indonesia menurutnya jelas menimbulkan ketidakadilan bagi WNI.
Faktor lain yang dapat memicu penolakan, UU omnibus law terkesan kuat di pemerintah pusat mengubah desentralisasi menjadi sentralisasi.
Utamanya terkait perizinan penguasaan lahan untuk investor asing.
"Akumulasi menarik desentralisasi sangat mengecewakan pemerintah daerah," imbuh dia.
Sementara itu, pakar hukum Tata Negara UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Andi Syafrani mengatakan, sejumlah negara sudah mulai kapok dengan model omnibus law dalam sistem konstitusi mereka.
Sistem omnibus law yang diadopsi Indonesia mengadopsi sistem yang pertama kali diterapkan di Amerika Serikat.
Salah satu negara yang masih menggunakan sistem omnibus law yakni Vietnam pada 2016.
Saat itu, Vietnam pun berkonsultasi terlebih dahulu dengan World Bank sebelum mengeluarkan aturan dengan sistem omnibus law.
"Jadi draft-nya (draf peraturan) dibaca dulu oleh World Bank, kemudian World Bank memberikan analisis. Tidak banyak analisisnya, sekitar 26 lembar. Intinya menyatakan draft ini oke dan silakan kalian sosialisasi secepatnya," ujarnya.
Andi mengungkapkan, dalam proses penyusunan UU dengan sistem omnibus law, pihak eksekutif seolah memberi tugas kepada pihak legislatif untuk menyelesaikan rancangan peraturan.
"Kalau bahasa mereka kritikannya adalah, ini prosesnya sangat jauh dari proses deliberatife democracy (demokrasi yang melalui diskursus)," katanya.
"Bahkan mereka menyebut model omnibus ini undemocratic. Kenapa? Simpel saja karena tidak memberikan waktu yang cukup untuk proses pembuatan hukumnya," imbuh dia.
Sehingga proses negosiasi terhadap aspek penting menyangkut masyarakat juga tidak dilakukan secara proporsional.
GridPop.ID (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Omnibus Law Sudah Diterapkan di Luar Negeri, Bagaimana Efektivitasnya?"
Source | : | kompas |
Penulis | : | None |
Editor | : | Septiana Hapsari |
Komentar